Si Cina, Si Bule, dan Si Kebo

By Padu Padan Kata - 11:54 PM

Peringatan! Ini bukan tulisan rasis.

Sebagai pendatang yang menetap di pinggiran Kota Yogyakarta, saya diharuskan bapak saya menganut paham Sego Segawe (Sepeda Kanggo Sekolah lan Nyambut Gawe -sepeda untuk sekolah dan bekerja). Oleh karena itu, saya paham betul peran Si Kebo dalam kehidupan berkuliah maupun kehidupan bersosial saya. Terlebih lagi, bapak saya termasuk golongan anti sepeda motor garis keras, jadi pilihan menggunakan Si Kebo untuk bermobilitas adalah pilihan yang paling bijak.

Si Kebo ini adalah sebuah sepeda gunung bermerk Wim Cycle dengan codename Wim Cycle Roadtech. Sepeda yang beruntung saya pinang ini, saya beri nama "Si Kebo" karena bentuknya dan tampangnya yang kokoh, persis seperti Kerbau. Si Kebo resmi menjadi tunggangan saya pada awal tahun 2016 silam setelah saya beli di Pasar Sepeda GAPPSTA. Biaya yang saya tebus untuk Si Kebo tidak mencapai 6 digit lazimnya sepeda-sepeda masa kini. Yaa meski begitu, saya tetap mengeluarkan sejumlah uang untuk membenahi Si Kebo menjadi sepeda yang layak jalan.

Si Kebo dalam sebuah perjalanan di Kotagede, Bantul

Jangan membandingkan Si Kebo dengan sepeda-sepeda keluaran sekarang yang harganya bisa melebihi harga sebuah Mio seken. Si Kebo ini tetap membumi dengan kesederhanaannya. Spesifikasinya berupa gir dengan percepatan 21 speed Megarange yang saya upgrade dari gir bawaan percepatan 18 speedfork bertipe rigid (tidak mentul-mentul), dan sistem pergantian gigi Shimano Tourney. Dengan spesifikasi seperti ini, Si Kebo sudah lebih dari cukup untuk menunjang mobilitas saya.

Supaya semakin mantap digunakan, saya mengganti beberapa part bawaan Si Kebo. Pergantian paling utama yakni pergantian ban yang saat itu sudah sangat botak licin. Heran saya, masih ada orang yang bisa naik sepeda dengan ban selicin itu. Tidak lupa saya tambahkan boncengan tempat menaruh barang di belakang sepeda dan bagian paling penting yakni lonceng sepeda. 

Memang sepenting itu kah bel sepeda? Loh iya, supaya orang-orang tahu kalau Si Kebo mau lewat. Biar tunggangannya sederhana, majikannya tetap sombong.

Si Kebo ini bukanlah sepeda pertama saya. Ia merupakan sepeda ketiga yang saya miliki selama 4 tahun 2 bulan berkuliah di Jurusan Gawe Kota di salah satu universitas di Sleman. Sebelumnya, sudah ada Si Cina dan Si Bule yang menjadi tunggangan saya. Sorry bukan rasis ya. Nah, kedua pendahulu Si Kebo punya cerita dan jalan hidup yang berbeda dari Si Kebo itu sendiri. 

Si Cina yang Kerjaannya Minta Jajan Melulu

Sepeda pertama saya adalah Si Cina. Si Cina ini merupakan sepeda gunung berwarna abu-abu bermerk Jie Yang yang saya beli di toko barang bekas dekat kosan lama saya di Sagan. Dibandingkan dengan Si Kebo, Si Cina saya tebus dengan harga yang mahal namun kualitas seadanya. Namun karena tuntutan tugas orientasi kuliah yang mengharuskan saya mondar-mandir Sagan-Pogung dan ketiadaan ojek daring saat itu, saya akhirnya memilih Si Cina sebagai tunggangan saya.

Si Cina kira-kira seperti ini, namun dengan warna abu-abu metalik

Bicara soal spesifikasi, Si Cina ini rupanya sangat biasa-biasa banget. Agak menyesal saya menebusnya dengan harga yang lebih mahal dari Si Kebo. Gir-nya cuma mampu mengakomodasi 18 percepatan. Shifter-nya pun masih sistem putar-putar berdasarkan feeling. Alhasil untuk mengganti gigi, perlu dikira-kira seberapa banyak putaran harus dilakukan untuk mengganti gigi belakang sepeda. Bobotnya pun Nauzubillah berat. Susah mengangkat sepeda ini apabila portal fakultas sudah ditutup 

Bagian paling spesial dari Si Cina adalah fork-nya yang terlihat bersuspensi, namun nyatanya hanya gimmick belaka karena tidak mentul-mentul. Halah barang kok banyakan gimmicknya.

Belum sebulan saya gunakan, Si Cina sudah merengek-rengek yang membuat saya kesal bukan main. Ada saja masalahnya. Mulai dari pedal yang tiba-tiba copot dengan sendirinya; mur pengunci sadel yang tiba-tiba oblak sehingga saya sering terjengkang; hingga stangnya yang sering bergoyang-goyang. Karena itu, saya jadi sering bolak balik ke bengkel untuk memperbaiki si Cina. 

Saking seringnya memperbaiki Si Cina, saya jadi kenal sama bapak-bapak servis. Mengunjungi bengkel sepeda merupakan kegiatan yang paling menyebalkan, sebab pasti ada saja bagian yang minta diganti. Ujug-ujug biaya yang dikeluarkan untuk memperbaiki Si Cina sama saja seperti saya membeli sepeda baru. Asemik!

Setelah satu tahun digunakan, saya makin merasa Si Cina sudah tidak lagi prima menemani mobilitas saya. Si Cina semakin rewel dan saya pun semakin kesal melihatnya rewel. Saya pun mengajukan proposal kepada Bos Besar untuk mengganti Si Cina dengan sepeda yang lebih layak pakai. Hasil rapat paripurna ditutup dengan kesimpulan, saya diperbolehkan membeli sepeda baru yang bisa bertahan hingga saya lulus. Tentunya juga didukung dengan sokongan dana secara parsial dari Bos Besar. Alhamdulillah, saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa.

Si Bule: Si Tampan Nan Manis

Petualangan saya mencari sepeda pengganti Si Cina tidaklah terlalu sulit. Kota Yogyakarta merupakan salah satu surga pesepeda karena toko sepeda banyak bertebaran di penjuru kota. Apalagi daerah Jalan Brigjen Katamso yang merupakan jantung penjualan sepeda se-Jogja Raya. Hal yang tersulit bagi saya adalah saya harus menyisihkan sebagian besar uang tabungan saya karena Bos Besar hanya memberikan bantuan finansial separuh dari harga sepeda yang saya taksir.

Ternyata produk impor tidak selamanya superior. Pilihan hati dan jiwa saya jatuh kepada sepeda bermerk Wim Cycle bertipe Roadtech S bikinan tahun 2015. Sepeda ini sudah saya incar setelah saya mondar-mandir di situs jual beli sepeda. Masih gres, mulus, nan sempurna. Saya mendapatkannya setelah melakukan tawar menawar super alot dengan Cici pemilik toko yang akhirnya rela melego sepeda tersebut dengan harga yang saya patok berdasarkan harga di internet.

Bukan foto saya, tapi Si Bule seperti ini

Sepeda berkelir putih biru ini saya beri nama Si Bule karena warnanya yang putih totok dengan motif garis-garis biru dan abu-abu kayak kumpeni Belanda. Spesifikasinya jauh lebih mumpuni daripada Si Cina. Gir dengan 21 percepatan tipe Megarange, fork Suntour dengan travel 100 mm, dan rangka alloy 6061 yang ringan. Selain itu, sistem pengeremannya juga masih menggunakan sistem V-Brake, bukan cakram yang lazim digunakan sepeda-sepeda kekinian. Sepeda dengan sistem pengereman ini memang menjadi incaran saya karena tergolong mudah dan murah untuk mengganti kampas rem apabila sudah aus.

Saking nyamannya Si Bule, saya jadi semakin sering mengajaknya Jalan-Jalan Sore mengitari kota hingga ke pelosok. Si Bule pun saya ajak bertamasya ketika saat itu jurusan tengah mengadakan malam keakraban di Jalan Kaliurang atas. Sayangnya meskipun saat itu Si Bule cukup mumpuni untuk diajak melahap tanjakan, dengkul saya kurang bisa diajak berkompromi sehingga beberapa kali sepeda saya tuntun.

***

Saya selalu meyakini, ada hubungan batin antara pengendara dengan apa yang dikendarainya. Begitu pula dengan saya dan sepeda-sepeda saya.

Lama memadu kasih dengan Si Bule, saya pun harus legowo mengakhirinya. Si Bule hanya dapat menemani saya mondar-mandir selama 1 tahun 4 bulan. Kisah kasih selama itu diakhir dengan lenyapnya Si Bule. Si Bule digondol maling ketika saya parkirkan di kampus pada malam hari. Rantai gembok sepeda yang saya rasa kuat untuk mengamankan Si Bule digunting secara paksa. Lenyap, hilang tak berbekas.

Sungguh kejadian yang sangat memilukan bagi saya. Esoknya saya pun izin tidak masuk kuliah karena shock akibat kejadian tersebut Namun setelah berapa lama lepas dari Si Bule, saya sadar bahwa saya harus ikhlas dan segera move on dari Si Bule. Hingga akhirnya, saya menemukan Si Kebo dan menjadikannya sebagai tunggangan saya hingga saat ini.

Saya bersyukur telah bertemu Si Cina, Si Bule dan Si Kebo. Si Cina memberikan pelajaran mengenai kesabaran, Si Bule mengajarkan bahwa harta tidak dibawa mati, dan Si Kebo mengajarkan kesederhanaan. Saya juga semakin meyakini bahwa bersepeda adalah kegiatan yang mengasyikkan. Yok, ngepit!

  • Share:

You Might Also Like

0 comments