Jalan-Jalan Masjid #9 : Epilog

By Padu Padan Kata - 11:45 PM


Kereta Bogowonto, yang membawa saya, berhenti sejenak di petak rel seputaran Cipinang, menunggu sinyal masuk di Stasiun Jatinegara. Hal yang biasa bagi kereta jarak jauh untuk bergantian mengisi peron Stasiun Jatinegara dengan KRL, apalagi di waktu pulang kantor. Tak berapa lama, kereta kembali bergerak untuk kemudian memasuki Stasiun Jatinegara.
Nampak kesibukan khas pulang kantor di Stasiun Jatinegara. Seluruh calon penumpang dengan beragam latar belakang dan tujuan, tumpah ruah memenuhi emplasemen Stasiun Jatinegara. Saya tak ambil pusing dan langsung mengambil langkah seribu menuju pintu keluar stasiun.
Keluar dari pintu stasiun, layaknya seorang biduan di pentas, seluruh orang memanggil saya. Memanggil-manggil meminta perhatian. Saya yang terbiasa dengan kondisi ini, langsung pasang kacamata kuda. Tawaran bertaksi atau berojek saya abaikan. Tangan kemudian saya lambaikan, sesaat mikrolet berkelir biru langit berhenti di depan saya. Ini tumpangan terbaik untuk saya.
Angkot M-06A tujuan Gandaria dengan beringas membelah jalanan bak banteng dalam hajatan Encierro di Spanyol sana. Sang sopir pun turut beringas seperti mobil yang dikemudikannya, seolah-olah kesurupan arwah Ayrton Senna. Dengan cekatan sang sopir memutar roda kemudi sembari memainkan trio pedal dan tongkat persneling. Kemacetan di Pasar Prumpung yang tersohor itu dengan mudah ia libas. Menyisakan asap kelabu yang merongorong paru-paru manusia-manusia bermotor yang mengekor di belakangnya. Saya yakin dalam hati mereka mengumpat, “Angkot sialan!”
Jelang terowongan Cawang, saya mengetuk atap angkot. Berhenti untuk berganti angkot. Angkot kelir biru langit berganti dengan angkot oren tua. Ukurannya lebih besar dan lebih garang. Segera saya memosisikan pantat, berdempetan dengan 20 pantat penumpang lainnya di dalam Isuzu Elf lawas. Angkot ini menjadi angkutan terakhir saya dalam Jalan-Jalan Masjid.
***
 Jalan-Jalan Masjid memang sudah selesai tiga tahun yang lalu. Tapi memoarnya masih terpatri dalam sanubari.
Dengan semangat yang sama, rekan-rekan seperjalanan Jalan-Jalan Masjid pun pada Ramadhan berikutnya sempat mengusulkan ide untuk mengeksplorasi lagi lebih jauh dan lebih banyak masjid-masjid di Jawa. Berulang kali kami berembuk merencanakan Jalan-Jalan Masjid edisi kedua. Konsepnya masih sama, datang ke satu kota, lihat-lihat, buka puasa, tidur di masjid, dan berpindah menuju kota tujuan lainnya. Tercatat terdapat dua rencana eksplorasi yakni Jalan-Jalan Masjid Jawa Timur dan Jalan-Jalan Masjid Jawa Barat-Jakarta.
Namun rencana Jalan-Jalan Masjid edisi kedua kandas di tengah jalan. Alasannya karena tidak pernah menemukan waktu yang tepat dan kesibukan yang semakin bertambah. Alhasil hingga saat ini hanya ada satu edisi Jalan-Jalan Masjid.
Eksplorasi Jalan-Jalan Masjid ini saya nyatakan teramat istimewa. Jalan-Jalan Masjid ini tidak menyoal mengenai seberapa jauh kaki melangkah atau seberapa banyak update dalam lini masa media sosial tentang tempat-tempat keren yang dikunjungi, namun menyoal pengalaman baru dan berharga yang didapatkan masing-masing individu. Mungkin naik bus Pantura merupakan hal yang biasa bagi rekan-rekan lainnya, tapi tidak dengan saya. Atau mungkin juga dipalak pengamen jalanan meski tidak salah apa-apa, juga menjadi pengalaman baru bagi Ardi. Serta pengalaman-pengalaman berbeda lainnya.
Entah kapan lagi akan dilaksanakan, tapi saya rasa Jalan-Jalan Masjid ini menjadi yang pertama dan yang terakhir.
Pengembara Jalan-Jalan Masjid

  • Share:

You Might Also Like

0 comments