Kereta Bogowonto, yang membawa saya, berhenti sejenak di petak rel
seputaran Cipinang, menunggu sinyal masuk di Stasiun Jatinegara. Hal yang biasa
bagi kereta jarak jauh untuk bergantian mengisi peron Stasiun Jatinegara dengan
KRL, apalagi di waktu pulang kantor. Tak berapa lama, kereta kembali bergerak
untuk kemudian memasuki Stasiun Jatinegara.
Nampak kesibukan khas pulang kantor di Stasiun Jatinegara. Seluruh
calon penumpang dengan beragam latar belakang dan tujuan, tumpah ruah memenuhi
emplasemen Stasiun Jatinegara. Saya tak ambil pusing dan langsung mengambil
langkah seribu menuju pintu keluar stasiun.
Keluar dari pintu stasiun, layaknya seorang biduan di pentas,
seluruh orang memanggil saya. Memanggil-manggil meminta perhatian. Saya yang
terbiasa dengan kondisi ini, langsung pasang kacamata kuda. Tawaran bertaksi
atau berojek saya abaikan. Tangan kemudian saya lambaikan, sesaat mikrolet
berkelir biru langit berhenti di depan saya. Ini tumpangan terbaik untuk
saya.
Angkot M-06A tujuan Gandaria dengan beringas membelah jalanan bak
banteng dalam hajatan Encierro di Spanyol sana. Sang sopir pun turut
beringas seperti mobil yang dikemudikannya, seolah-olah kesurupan arwah Ayrton
Senna. Dengan cekatan sang sopir memutar roda kemudi sembari memainkan trio
pedal dan tongkat persneling. Kemacetan di Pasar Prumpung yang tersohor itu
dengan mudah ia libas. Menyisakan asap kelabu yang merongorong paru-paru
manusia-manusia bermotor yang mengekor di belakangnya. Saya yakin dalam hati
mereka mengumpat, “Angkot sialan!”
Jelang terowongan Cawang, saya mengetuk atap angkot. Berhenti
untuk berganti angkot. Angkot kelir biru langit berganti dengan angkot oren
tua. Ukurannya lebih besar dan lebih garang. Segera saya memosisikan pantat,
berdempetan dengan 20 pantat penumpang lainnya di dalam Isuzu Elf lawas. Angkot
ini menjadi angkutan terakhir saya dalam Jalan-Jalan Masjid.
***
Jalan-Jalan Masjid memang sudah selesai tiga tahun yang lalu. Tapi
memoarnya masih terpatri dalam sanubari.
Dengan semangat yang sama, rekan-rekan seperjalanan Jalan-Jalan
Masjid pun pada Ramadhan berikutnya sempat mengusulkan ide untuk mengeksplorasi
lagi lebih jauh dan lebih banyak masjid-masjid di Jawa. Berulang kali kami
berembuk merencanakan Jalan-Jalan Masjid edisi kedua. Konsepnya masih sama,
datang ke satu kota, lihat-lihat, buka puasa, tidur di masjid, dan berpindah
menuju kota tujuan lainnya. Tercatat terdapat dua rencana eksplorasi yakni
Jalan-Jalan Masjid Jawa Timur dan Jalan-Jalan Masjid Jawa Barat-Jakarta.
Namun rencana Jalan-Jalan Masjid edisi kedua kandas di tengah
jalan. Alasannya karena tidak pernah menemukan waktu yang tepat dan kesibukan
yang semakin bertambah. Alhasil hingga saat ini hanya ada satu edisi
Jalan-Jalan Masjid.
Eksplorasi Jalan-Jalan Masjid ini saya nyatakan teramat istimewa.
Jalan-Jalan Masjid ini tidak menyoal mengenai seberapa jauh kaki melangkah atau
seberapa banyak update dalam lini masa media sosial tentang
tempat-tempat keren yang dikunjungi, namun menyoal pengalaman baru dan berharga
yang didapatkan masing-masing individu. Mungkin naik bus Pantura merupakan hal
yang biasa bagi rekan-rekan lainnya, tapi tidak dengan saya. Atau mungkin juga
dipalak pengamen jalanan meski tidak salah apa-apa, juga menjadi pengalaman
baru bagi Ardi. Serta pengalaman-pengalaman berbeda lainnya.
Entah kapan lagi akan dilaksanakan, tapi saya rasa Jalan-Jalan
Masjid ini menjadi yang pertama dan yang terakhir.
Pengembara Jalan-Jalan Masjid |
0 comments